astudioarchitect.com Secara umum buku ini memuat karya dari tujuh arsitek yang dianggap mewakili suatu generasi arsitek baru yang dimaksud oleh penulis, tampaknya 'baru' merupakan suatu pembeda untuk paradigma ber-arsitektur yang sudah ada sebelumnya, dimaksudkan oleh Peter dan Murni. Apakah yang berbeda? Jawabannya terlintas pada prakata Murni "Apa sebabnya arsitektur sebagai komponen kebudayaan material sesudah Indonesia merdeka tidak dengan sengaja dibangun atas pengertian dan pengalaman arsitektur tradisional?" Pertanyaan ini sendiri merupakan pertanyaan 'abadi' Heinz Frick tentang arsitektur DI Indonesia. Buku ini merupakan buku yang diperuntukkan arsitek dan kalangan akademisi. Meskipun demikian kalangan awam akan dengan mudah menikmati buku ini karena koleksi foto fotonya yang ekstensif dan estetis. Terimakasih pada Peter yang sudah mengirimkan buku ini sehingga bisa saya review.
Buku ini dalam rangka konteks gerakan pencarian arsitektur Indonesia atau arsitektur nusantara (CMIIW), yang belakangan ini cukup santer menjadi perbincangan arsitek Indonesia. Cukup banyak gerakan gerakan yang sama seperti misalnya di Jepang dan di negara lain dimana arsitek arsitek yang pernah mengalami masa masa pencarian jati diri arsitektur yang paling sesuai untuk diterapkan di negaranya. Entah Apakah hal tersebut cukup untuk menggambarkan keinginan pencarian jati diri yang tampaknya benar benar menjadi sebuah topik yang menggelembung di era diskusi yang ekstensif dari era Arsitek Muda Indonesia.
Jawaban pasti tentunya bila dijelaskan oleh penulisnya sendiri. Peter menyebutkan bahwa arsitektur Nusantara tidak perlu dirumuskan dengan tergesa gesa, kesempatan menakar masih terbuka untuk dibicarakan. Murni memilih untuk mengangkat pertanyaan abadi Heinz Frick, sambil berusaha menginspirasi pembacanya.
Lantas, apakah ada generasi yang 'baru', ataukah judul merupakan suatu keinginan berbeda dari publikasi yang lain? Karya-karya dalam buku ini bahkan sudah sering beredar didunia arsitektur Indonesia, dalam publikasi maupun media sosial. Jujur sebagian pembaca mungkin sudah pernah melihat sosok sebagian rumah-rumah itu. Membukukannya juga sudah dilakukan penulis-penulis lain dalam fragmen-fragmen pemikiran buku yang lain. Aha, yang berbeda adalah: buku ini 'memaku dengan kuat' kata 'generasi arsitek baru' itu dengan lebih kuat. Nailed it, kata orang yang berbahasa Inggris.
Kata pengantar dari Prof. Ir. Triatno Yudo Harjoko, M. Sc, Phd, tampaknya ingin membuat penalaran tertentu tentang tanda dan signum berdasarkan pandangan akan kata 'desain' yang dianggap lebih metafisik. Beliau mengambil sudut pandang linguistik yang selalu membuat kita senantiasa wow karena begitu dijelaskan, arsitek 'biasa' mungkin hanya bisa diam bingung sambil berusaha mengerti teori linguistik yang notabene rumit itu. Sedikit lega Profesor disengaja atau tidak, kemudian menuju 'bahasa awam'. Profesor banyak menggunakan kata 'tektonik' yang berarti lebih dalam dari sekedar 'bangunan', ia adalah suatu konsep manifestasi arsitektur yang memiliki lebih banyak muatan hasil pemikiran atau seni.
Membalik satu per satu halaman di dalam buku ini seperti diajak memahami secara langsung apa yang ingin dikatakan dan latar belakang dari pembangunan sebuah rumah. Saya lebih memandang bahwa penulisan dalam buku ini lebih merupakan 'jembatan' daripada 'hadiah baru yang terbungkus rapi' untuk -seandainya ada- arsitektur Indonesia. Barangkali yang mengagetkan atau dianggap mewakili generasi 'baru' adalah bagaimana 7 arsitek tersebut memakai paradigma-paradigma baru hasil pemikiran kritis mereka, contohnya materialitas untuk dieksplorasi sebagai bahan dalam mendesain, dimana kuantitas pemikiran ini hadir dalam skala berbeda-beda. Generasi sebelum arsitek-arsitek dengan paradigma baru ini, bisa jadi terkaget-kaget; singgasana 'gaya-gaya' mereka dihanyutkan oleh 'arus' atau stream yang nampaknya cukup kuat, lebih mendasar dan beralasan. Meskipun demikian 'hadiah-hadiah' itu sudah dibuka perlahan-lahan dalam kurun satu atau lima tahun terakhir. Demikian juga pasar mungkin masih hati-hati untuk mengadopsi paradigma baru ini, kali-kali ini hanya sepenggal epoch yang akan segera tertiup angin.
Hanya ada satu yang bisa mengalahkan mainstream, dia adalah small-stream yang mirip-mirip seperti ini. Secara umum desain-desain dalam buku 7 adalah modern, ada yang sangat modern, dan ada juga yang merepresentasikan jejak tradisi. Bahkan unsur gaya baru seperti gaya industrial juga tampak laksana eklektisism yang 'biasanya', the casual eclecticism. Meskipun demikian, ada 'substance-x' yang memang diekstrak dari kekayaan arsitektur dari masa lalu. Sebuah kearifan yang mengalun dinikmati sebagai mellifluous architecture. Buku ini, memang unik, lugas, dan tidak mendayu-dayu. Tidak ada prosa yang terlalu puitis, bahkan penulisnya menunjukkan dengan baik kemampuan deskriptif dan teknis yang mumpuni, khas bahasa insinyur.
Selasa, 18 Agustus 2015.
(to be concluded, saya coba menutupi angka 7 yang tertera di cover buku ini. Saya merasa lebih tercerahkan. Cobalah)
___
Membahas sebuah buku memerlukan pemikiran dan juga biaya untuk mendapatkan buku tersebut. Saya akan sangat berterima kasih apabila anda berkenan untuk menyumbangkan buku atau mengirim buku ke alamat studio agar dapat dibahas sebagai informasi kita bersama. Atau anda juga bisa membelikan saya segelas kopi atau makan siang dengan cara memberikan donasi. Silahkan email atau whatsapp:
Arsitek Probo Hindarto
081 252 447 53
© Copyright 2015 astudio Indonesia.
All rights reserved.