Sabtu, 29 Maret 2014

Rumah gaya 'Mediterania dan Klasik' kurang sesuai di Indonesia



astudioarchitect.com Dulu sekali, saya pernah menulis buku pada tahun 2006-2007, yang isinya tentang gaya arsitektur mediterania. Jenis gaya ini banyak dipakai di rumah-rumah mewah yang biasanya ada pembantu untuk membersihkannya, kalau tidak penghuninya biasanya kewalahan untuk urusan bersih-bersih. Pada waktu itu buku-buku tentang rumah tinggal dan majalah seperti Asri, Laras dan Idea masih banyak dihiasi oleh gaya arsitektur Mediterania dan klasik ini. Ini tidak mengherankan, dan saya menangkap pada waktu itu bahwa ini merupakan tren yang sepertinya patut untuk dibahas dalam buku. Hingga kini kita masih banyak menemukan rumah dengan gaya mediterania atau klasik yang kental. Belakangan dan setelah itu saya sadar bahwa gaya ini kurang pas di Indonesia. Tapi untungnya buku saya waktu itu lebih ke deskripsi gaya saja bukan mengantarkan saya jadi salah satu arsitek dengan style yang sudah ketinggalan jaman ini. Banyak klien bahkan sering yang mereferensikan gaya mediterania yang asli dari 'sono'nya kepada saya via contoh-contoh foto ketika akan mendesain, semuanya saya tampung dan saya pikirkan lagi ketika akan mendesain, paling tidak kaidahnya terhadap hujan dan panas harus sesuai.




Tidak ada yang salah dengan mendesain rumah dengan model mediterania dan klasik ini, sepanjang kita tahu konsekuensinya. Mediterania adalah kawasan di Timur Tengah dengan iklim yang tropis kering, sedangkan wilayah negeri kita adalah tropis basah. Perbedaannya adalah pada basah dan kering. Iklim kita yang basah cenderung berbeda dari iklim mediterania yang kering. Gaya atau style tersebut makin lama makin disadari bahwa kurang bisa menjadi gaya yang adaptif untuk lingkungan yang basah dan banyak hujan. Seringkali dan memang pernah saya mendesain bangunan dengan gaya klasik dan mediterania. Problem utamanya ada pada banyaknya ornamentasi yang digunakan.


Ornamentasi yang sangat banyak ini indah dipandang mata, namun menyediakan celah-celah untuk debu dan kotor yang diperparah oleh hujan. 


Ornamentasi tersebut seringkali berupa garis-garis dan bentuk kecil-kecil yang dibuat di tempat beton cetak atau gypsum, bahkan hingga dipinggir-pinggir jalan dan dipelosok desa kita sering menemukan orang berjualan ornamentasi untuk rumah mediterania atau klasik. Akibatnya ini menjadi budaya yang lazim orang membangun dengan gaya mediterania dan klasik itu, tanpa menyadari problem utamanya. Kalau istilahnya dalam bidang arsitektur; gaya ini sudah menjadi bagian dari arsitektur vernakular.

Problem utamanya tentunya karena faktor basah hujan yang sering dinegeri kita, ornamentasi itu tidak didesain untuk wilayah tropis basah. Seringkali kita mendapati lis profil luar bangunan yang cepat kotor karena air hujan yang menimbulkan bekas garis-garis pada lis profil ornamentasinya. Demikian pula ornamentasi yang punya ceruk-ceruk kecil berpotensi untuk menyimpan debu dan menjadi kotor.


Kita tidak bisa menampik problem suka kotor yang sering terjadi itu, dan karenanya mungkin saja, orang sudah makin tahu bahwa gaya ini meskipun 'manis dan menarik hati' serta sesuai bagi mereka yang memiliki kepribadian suka kemewahan, ini akan sesuai. Namun bagi orang modern yang hidup 'streamline' yang suka cepat dan praktis, ini suka kurang praktis. Barangkali saja, barangkali, gaya arsitektur 'tropis modern' yang sering diucapkan akhir-akhir ini, merupakan jawaban bagi gaya mediterania. 


'Kecurigaan' saya makin beralasan, karena gaya tropis biasanya diterjemahkan sebagai gaya rumah dengan unsur batu tempel yang banyak. Batu tempel tidak terlalu minta dibersihkan dan bisa menyamarkan kesan kotor, bagi jenis-jenis batu tertentu. Kesan yang memang bertekstur dan kasar ini bisa mengurangi kebutuhan untuk bersih-bersih yang terlalu banyak. Meskipun bukan berarti gaya ini tanpa masalah juga. Masalah dari gaya tropis modern adalah biasanya materialnya lebih boros dan mahal, karena batu musti disusun, dibaguskan, ditata sedemikian. Biaya menata batu di dinding yang cukup mahal bisa berharga ratusan juta per meternya. Dengan tidak terlalu banyaknya bagian lipatan dinding licin seperti gaya arsitektur mediterania dan klasik, gaya ini cenderung campin digunakan.

Ini lho, asal dari arsitektur Mediterania itu, memang megah dan indah. Tapi kurang sesuai dengan kepribadian dan juga iklim kita. 

Pendeknya melalui artikel singkat ini saya ingin mengajak pembaca budiman untuk menyadari efek samping dari keindahan arsitektural ini, memang sudah lama gaya ini berlalu dan tidak banyak lagi orang menggunakannya. Saya cuma menulis ini sebagai semacam warning saja; pengetahuan yang mungkin berguna.

Salam,


______________________________
by Probo Hindarto
© Copyright 2012 astudio Indonesia.
All rights reserved.

SILAHKAN CHATTING DENGAN ASISTEN ROBOT:

Maaf asisten masih dalam tahap pengembangan. Jadi tidak semua pertanyaan bisa dijawab. (ini merupakan chatbot)